Silent Pandemic Resistensi Antimikroba Jadi Ancaman Serius

Silent Pandemic Resistensi Antimikroba Jadi Ancaman Serius

KOMPAS.com – Prof. dr. Taruna Ikrar, PhD, MBiomed, yang saat ini menjabat sebagai Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia, baru-baru ini memberikan peringatan serius mengenai ancaman yang dikenal sebagai silent pandemic, yaitu resistensi antibiotik yang disebabkan oleh penggunaan antimikroba yang tidak bijaksana.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Taruna dalam orasi ilmiah di Ballroom Universitas Prima Indonesia (Unpri) di Medan, Sumatera Utara, pada hari Sabtu, 4 Januari 2025.

Dalam acara tersebut, Taruna juga menerima penghargaan sebagai ilmuwan berpengaruh di Indonesia, yang diserahkan langsung oleh Rektor Unpri, Prof. Dr. Crismis Novalinda Ginting, MKes.

Acara ini dihadiri oleh berbagai tokoh penting, termasuk Menteri Hukum Supratman Agtas, Penjabat Gubernur Sumatera Utara Hassanudin, serta rektor-rektor dari perguruan tinggi lainnya.

Taruna menjelaskan bahwa resistensi antimikroba muncul ketika mikroorganisme, seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit, mengembangkan ketahanan terhadap obat antimikroba. Hal ini memungkinkan mikroorganisme tersebut untuk bertahan hidup dan berkembang biak. Dia menekankan bahwa fenomena ini merupakan hasil dari proses evolusi yang didorong oleh seleksi alam dan adaptasi genetik.

“Setiap kali mikroorganisme terpapar agen antimikroba, ada proses seleksi ketat di mana hanya organisme dengan keunggulan genetik yang dapat bertahan yang akan terus hidup dan bereproduksi,” ujar alumni Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin (Unhas) ini dalam rilis pers yang diterima oleh Kompas.com, Sabtu lalu.

Lebih lanjut, Taruna menyatakan bahwa spektrum mikroorganisme yang berpotensi mengembangkan resistensi sangat luas, dengan setiap kelompok memiliki cara unik dalam menghadapi tantangan dari antimikroba.

“Bakteri adalah contoh paling mencolok, karena kemampuan transfer gen horizontal memungkinkan mereka untuk berbagi informasi genetik resistensi antarspesies. Proses ini mempercepat penyebaran kemampuan bertahan terhadap antimikroba, bahkan di antara bakteri yang berasal dari taksonomi yang berbeda,” tambahnya.

Meneliti Mekanisme Transfer Gen Resistensi

Taruna menjelaskan bahwa sejak penemuan antibiotik pertama oleh Alexander Fleming pada tahun 1928, manusia telah mencapai kemajuan besar dalam mengatasi penyakit infeksi. Namun, pemahaman tentang resistensi antimikroba mulai berkembang secara signifikan pada tahun 1962, saat para ilmuwan mulai menyadari bagaimana gen resistensi dapat dipindahkan antar bakteri melalui plasmid.

Mekanisme ini memungkinkan mikroba untuk saling berbagi informasi genetik, sehingga dapat bertahan dari serangan antimikroba, bahkan antar spesies, yang semakin mempersulit dinamika penyebaran resistensi tersebut.

“Bakteri dapat mengalami mutasi genetik dalam waktu yang sangat cepat. Proses ini memungkinkan berbagai mikroorganisme, termasuk virus, jamur, dan parasit, untuk dengan cepat mengembangkan mekanisme pertahanan terhadap antimikroba yang sebelumnya efektif,” jelas Taruna.

Dia juga menambahkan bahwa resistensi mikroorganisme terhadap obat antimikroba sangat bervariasi dan canggih. Sebagai contoh, bakteri dapat mengembangkan pertahanan dengan tiga strategi genetik yang berbeda.

Pertama, mereka dapat memodifikasi struktur molekul yang menjadi target obat, sehingga antimikroba tidak mampu berikatan atau mengganggu fungsi sel bakteri. Kedua, mereka dapat mengembangkan enzim yang merusak struktur molekul obat sebelum obat tersebut memberikan efek. Ketiga, mereka dapat mengembangkan pompa efluks untuk mengeluarkan molekul obat dari dalam sel sebelum obat dapat memberikan efek terapeutik yang diharapkan.

Silent Pandemic Resistensi Antimikroba Jadi Ancaman Serius

Dok. Istimewa Prof dr Taruna Ikrar, PhD, menerima penghargaan sebagai ilmuwan berpengaruh dari Rektor Universitas Prima Indonesia.

Resistensi Menjadi Ancaman Global

Sejak akhir abad ke-20 hingga awal abad ke-21, resistensi antimikroba telah berkembang menjadi ancaman global, dengan munculnya multidrug resistant (MDR) strain, seperti Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) dan kuman tuberkulosis yang resisten terhadap obat. Ini menunjukkan bahwa mikroorganisme telah mengembangkan mekanisme pertahanan yang sangat kompleks.

Meskipun pada awalnya dianggap sebagai terobosan medis yang luar biasa, bakteri Staphylococcus aureus dengan cepat menunjukkan resistensi terhadap penisilin. Situasi ini semakin diperparah dengan meningkatnya penggunaan antibiotik secara masif dalam bidang kedokteran dan peternakan selama dekade 1940-an dan 1950-an.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengklasifikasikan resistensi antimikroba sebagai salah satu tantangan kesehatan global terbesar, mengingat dampaknya yang dapat merusak sistem pengobatan modern.

Resistensi ini tidak hanya membatasi kemampuan medis dalam mengatasi penyakit menular, tetapi juga mengancam struktur kemajuan pengobatan yang telah dibangun selama seratus tahun terakhir.

Resistensi antimikroba kini menjadi krisis kesehatan global yang mengancam sistem pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Setiap spesies mikroba yang menjadi resisten tidak hanya berisiko bagi individu yang terinfeksi, tetapi juga menciptakan reservoir genetik yang berpotensi berbahaya bagi seluruh populasi.

“Negara-negara berkembang akan menghadapi dampak paling parah, dengan risiko jutaan penduduk terjerumus ke dalam kemiskinan akibat biaya pengobatan yang meningkat dan hilangnya produktivitas tenaga kerja,” ungkap Taruna.

Rumah sakit dan fasilitas kesehatan juga akan terpaksa mengembangkan protokol pengobatan alternatif yang jauh lebih mahal dan kompleks.

“Prosedur medis yang saat ini dipandang rutin, seperti operasi caesar, penggantian sendi, atau kemoterapi, bisa menjadi prosedur yang berisiko tinggi dengan komplikasi infeksi yang signifikan,” tambahnya.

Dampak ekonomi dari resistensi antimikroba diperkirakan akan sangat besar. Bank Dunia memperkirakan bahwa pada tahun 2050, kerugian ekonomi global dapat mencapai 100 triliun dolar Amerika Serikat, yang setara dengan kehilangan sekitar 3,8 persen dari produk domestik bruto (PDB) global.

Lebih mengkhawatirkan lagi, WHO memproyeksikan bahwa setiap tahun, 10 juta nyawa akan hilang akibat infeksi resisten, angka ini bahkan lebih tinggi daripada kematian akibat kanker.

Angka-angka ini, menurut Taruna, bukan sekadar statistik, tetapi merupakan peringatan serius tentang potensi keruntuhan sistem kesehatan global. Penundaan dalam penanganan masalah ini setiap tahunnya hanya akan memperbesar risiko bencana kesehatan global.

Penyebab dan Upaya Penanggulangan

Taruna mengungkapkan bahwa penggunaan antibiotik yang tidak rasional, baik dalam kesehatan manusia maupun peternakan, merupakan faktor pendorong utama resistensi antimikroba.

“Penggunaan antibiotik dalam dosis subterapi, praktik pengobatan mandiri, serta penggunaan antibiotik spektrum luas telah memberikan keuntungan selektif bagi mikroorganisme resisten untuk berkembang dan menggantikan populasi yang sensitif,” jelasnya.

Situasi ini semakin diperburuk oleh globalisasi, perpindahan penduduk, dan perdagangan internasional yang mempercepat penyebaran strain resisten lintas wilayah dan benua.

Untuk mengatasi krisis ini, diperlukan kolaborasi lintas negara, sektor, dan disiplin ilmu. Tidak hanya riset dan pengembangan obat baru yang diperlukan, tetapi juga transformasi menyeluruh dalam praktik penggunaan antimikroba di bidang kesehatan, pertanian, dan peternakan.

Bagi Indonesia, resistensi antimikroba memiliki dimensi kompleks yang dipengaruhi oleh faktor geografis, demografis, dan sistem kesehatan.

“Sebagai negara dengan keragaman ekologis dan praktik kesehatan yang beragam, Indonesia menghadapi tantangan unik dalam mengontrol penyebaran mikroorganisme resisten. Diperlukan strategi nasional yang adaptif, berbasis riset, dan mempertimbangkan konteks lokal,” kata Taruna.

Meski demikian, ia optimis bahwa penelitian di bidang resistensi antimikroba akan semakin fokus pada pendekatan inovatif, termasuk terapi fago, yaitu terapi yang menggunakan bakteriofage untuk membunuh bakteri secara spesifik.

Profil dan Rekam Jejak

Taruna Ikrar adalah seorang ahli farmakologi, ilmuwan kardiovaskular, dan pakar neurosains terkemuka di Indonesia. Ia telah menjabat sebagai Kepala BPOM RI sejak Agustus 2024.

Dia memulai pendidikan kedokterannya dengan meraih gelar dokter dari Unhas pada tahun 1997, kemudian melanjutkan Magister Biomedik spesialisasi Farmakologi di UI yang diselesaikannya pada tahun 2003.

Taruna kemudian meraih gelar PhD dalam bidang Kardiofarmakologi dari Niigata University, Jepang, dan melanjutkan program post-doctoral di University of California, Irvine, dengan fokus pada neurofarmakologi dan pengembangan obat pada tahun 2008-2013.

Karier akademiknya terus bersinar dengan menjadi Research Scholar di Harvard University pada tahun 2014. Ia juga menjabat sebagai profesor di Pacific Health Sciences University serta akademik spesialis di University of California, Irvine.

Sebelum menjabat sebagai Kepala BPOM, Taruna memimpin Konsil Kedokteran Indonesia periode 2020-2024 dan saat ini masih menjabat sebagai Direktur Konsil Kedokteran Internasional (IAMRA) untuk periode 2021-2025.

Sejak tahun 2023, Taruna diangkat sebagai Adjunct Professor di Universitas Pertahanan RI dan juga menjabat sebagai Penasehat di THIAMSI serta Staf Ahli di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto.

Dalam dunia penelitian, karya-karyanya mencakup bidang farmakologi, kardiovaskular, neurosains, elektrofisiologi, genetika, dan terapi sel punca. Dia telah menghasilkan lebih dari 100 publikasi ilmiah, termasuk di jurnal NATURE, dengan total sitasi mencapai 1.763 menurut Scopus dan Google Scholar, serta memiliki H-Index 17 dari Scopus dan 24 dari Google Scholar.

Taruna, yang pernah menjabat sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Makassar, juga telah menulis beberapa buku teks penting dalam bidang kedokteran dan neurosains. Atas dedikasinya, ia menerima penghargaan Outstanding Scientist dari Pemerintah AS pada tahun 2014 dan UKP-Presidential Award kategori Innovator and Scientist pada tahun 2017.